Oleh: Imam Shamsi Ali*

Meminimalisir emosi dan amarah tidak sama sekali diartikan sebagai kompromi terhadap kepentingan mendasar umat ini. Ambillah sebagai misal upaya memerdekakan Palestina dan membebaskan masjidil Aqsa.

Sejak tahun 1947, atau minimal tahun 1967, Palestina telah dijajah dan masjidil Aqsa diduduki oleh Zionis Yahudi. Sejak itu pula umat ini telah pula mengekspresikan amarahnya. Pembakaran masjidil Aqsa di tahun 80-an (kalau tidak salah) menjadi penyebab berdirinya OKI (Organisasi negara-negara Islam).

Sayang sejak itu pula yang terjadi adalah tanah-tanah Palestina semakin digerogoti dari masa ke masa. Masjidil Aqsa juga semakin dikungkung oleh kekuasaan penjajah. Sehingga akses ke rumah ibadah itu semakin menyempit.

Di sisi lain kasus Palestina menjadi makanan empuk bagi berbagai kepentingan dunia, Islam dan non Islam. Sentimen kemarahan umat khususnya dan manusia secara umum menjadi santapan kepentingan politik dunia. Seolah dengan menyebut “membela” Palestina dalam kampanyenya seoang kandidat telah menjadi pahlawan kemerdekaan bagi Palestina.

IQRA

Membaca adalah awal dari terbangunnya pemahaman yang benar tentang berbagai masalah. Memahami setiap masalah hidup menjadi dasar bagi terbangunnya kehidupan yang bermakna. Itulah kira-kira makna kenapa ayat pertama yang diturunkan kepada baginda Rasulullah SAW adalah perintah membaca. Membaca, bukan membaca huruf-huruf. Karena memang belum ada huruf yang dibaca, dan Rasul tidak bisa membaca huruf-huruf.

Sebagai Rasul terakhir yang membawa ajaran universal dan menyeluruh, kedatangannya dimaknai membawa solusi bagi berbagai permasalahan manusia. Dalam kapasitas “solusi” inilah maka relevansi membaca dalam perintah “iqra” di atas lebih kepada membangun pemahaman yang benar tentang “apa, kenapa, dan bagaimana” setiap permasalahan hidup itu sendiri.

Karena itulah maka membangun pemahaman yang benar tentang masalah-masalah kehidupan (dunia) menjadi “pra syarat” bagi ditemukannya solusi yang benar dan sesuai. Jika tidak maka upaya penyelesaian yang diambil boleh jadi salah, sepotong-sepotong, bahkan berakibat kepada timbulnya masalah-masalah lain yang lebih kronis.

Terorisme atau berbagai kekerasan yang terjadi saat ini adalah satu dari berbagai masalah dunia kita. Sayang hampir semua pihak membatasi diri dalam melihat permasalahan ini hanya pada “apa” dan “siapa” yang terkait dengan terorisme. Sangat sedikit yang berani jujur dan melemparkan pertanyaan “kenapa” berbagai terorisme dunia terjadi?

Kegagalan dunia dalam “iqra” (membaca) berbagai penyebab terorisme menjadikannya gagal dalam menyelesaikannya. Perang demi perang, penangkapan demi penangkapan, pembunuhan dan eksekusi demi pembunuhan dilakukan sepanjang masa. Tapi terorisme dan kekerasan itu justeru semakin meraja lelah dan berani, bahkan semakin canggih.

Oleh karenanya membangun kembali kesadaran iqra bagi umat ini sangat penting. Baca, dalami, pahami secara benar dan utuh dari setiap permasalahan yang terjadi. Jangan melakukan reaksi tanpa pendalaman dan pemahaman yang benar. Karena boleh jadi justeru akan berbalik dan menjadi masalah baru. Atau minimal bagaikan kanker. Mematikan satu sel di satu bagian tubuh tapi sel-sel lainnya menjalar ke seluruh penjuru tubuh lainnya.

Hindari Generalisasi

Tidak semua permasalahan itu mewakili permasalahan-permasalahan lainnya. Walaupun diakui jika terkadang ada keterkaitan antara satu masalah dengan masalah lainnya.

Dalam hal terorisme misalnya tidak selamanya terjadi karena kebijakan luar negeri Amerika terhadap dunia Islam. Walaupun disadari jika kemarahan sebagian umat karena ketidak adilan kebijakan Amerika terhadap dunia Islam, khususnya Timur Tengah.

Tapi apakah kebijakan luar negeri Amerika menjadikan kita mengambil sikap jika semua terorisme dan kekerasan di dunia disebabkan oleh Amerika? Tentu tidak. Justeru ada berbagai kekerasan yang terjadi di belahan dunia, termasuk dunia Islam sendiri, disebabkan oleh umat sendiri. Salah satunya adalah hilangnya keadilan para pemimpin Islam. Kediktatoran politik dunia Islam menjadikan sebagian umat ini marah dan cenderung melakukan kekerasan. Tentu dengan alasan memperjuangkan hak-hak dasar mereka (kemerdekaan).

Dengan menghindari tendensi generalisasi ini kita akan mampu memilah-milah permasalahan dan melihatnya pada konteksnya masing-masing. Dengan memilah dan memahami setiap masalah pada konteksnya akan mudah diidentifikasi “akar” penyebab. Sehingga dengan mudah pula dicarikan “solusi” bagi masing-masing permasalahan yang ada.

Tangkap Peluang yang Ada

Secara teologis, di setiap masalah ada solusi dan bahkan peluang. “Sungguh pada setiap sesulitan itu ada kemudahan” (Inna ma’al usri yusra). Secara iman, tantangan yang ada itu sesungguhnya adalah tangga menuju kemenangan.

Oleh karenanya masalah bagi seorang Muslim tidak dilihat sebagai akhir harapan. Justeru setiap kali ada masalah setiap kali itu pula seharusnya diyakini sebagai hadirnya peluang-peluang baru meraih kebaikan.

Cerita yang selalu saya ulang di mana-mana adalah di saat sebuah koran di Denmark menerbitkan gambar karikatur yang diakui sebagai gambar nabi Muhammad SAW. Digambarkan jika nabi Muhammad adalah seorang yang bersorban yang di dalamnya ada bom yang bisa diledakkan setiap saat.

Maknanya nabi Muhammad SAW itu adalah nabi pembunuh, bom bunuh diri. Atau nabi Muhammad SAW itu adalah nabi hang mengajarkan kekerasan dan terorisme.

Secara iman gambar itu tentu menyakitkan dan menyulut kemarahan umat. Dan sangat wajar jika umat merasakan kemarahan karena itu juga tuntutan iman. Bahwa ketika nabi dilecehkan hati seorang Muslim akan tersakiti. Dan itu hak dan sangat wajar.

Yang perlu kemudian diingat adalah bagaimana seharusnya seorang beriman marah dan berbeda sikap ari marahnya mereka yang tidak beriman? Marah adalah bagian dari sifat alami dan manusiawi. Rasul pun marah. Tapi orang beriman jika marah mereka mampu melakukan “al-kazm” (mengekang atau menahan), lalu dialihkan kepada reaksi positif dan solutif. Bahkan reaksi ketakwaan adalah “al-afwu” (memaafkan): wal-aafiin anin naas.

Maka ketika semua heboh dan melampiaskan kemarahan terhadap pembuat gambar karikatur itu, umat Islam Amerika mengekang amarah. Mereka tidak ikut-ikutan melampiaskan amarah dengan cara-cara destruktif. Tapi menahan dan mengalihkan emosi manusianya kepada emosi positif. Yaitu mencari peluang di tengah tantangan yang ada.

Pembuatan gambar karikatur nabi Muhammad SAW sesungguhnya tanpa disadari, baik umat Islam maupun non Islam, telah menjadi promosi gratis kepopuleran Rasulullah SAW. Dengan gambar itu masyarakat dunia yang semakin tidak peduli dengan agama, apalagi agama Islam, kembali membuka mata tentang siapa sosok Muhammad SAW yang dihebohkan?

Bagi masyarakat Muslim Amerika kenyataan ini adalah peluang. Maka di mana-mana kita intensifkan ceramah-ceramah, tulisan-tulisan, maupun berbagai workshop tentang Muhammad SAW. Saya sendiri belum pernah bermimpi untuk memberikan ceramah di sinagog Yahudi tentang nabi Muhammad SAW. Ternyata gambar karikatur itu telah membuka pintu beberapa sinagog Yahudi, gereja Kristen, universitas, dan institusi lainnya untuk menyampaikan kepada mereka tentang siapa Muhammad SAW yang sesungguhnya.

Itu hanya satu dari sekian kasus yang kita anggap tantangan, justeru berbalik menjadi peluang untuk melakukan banyak hal untuk kebaikan umat. Maka jelilah dalam melihat setiap masalah. Yakinilah jika di balik setiap masalah itu ada solusi, bahkan berbagai peluang untuk kebaikan.

Bersambung.

Facebook Comments Box

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here