Dahulu, Imam Malik rahimahullah pernah mengatakan, “Apa yang aku inginkan hanyalah keridhaan Allah swt. Apa yang sudah kutuliskan dalam buku itu, aku anggap seperti aku membuang sesuatu ke sumur..”

Sungguh dahsyat perkataan Imam Malik rahimahullah tersebut. Karena kata-kata itu ia ucapkan saat ia berpeluh dan keletihan menuliskan lembar demi lembar kitab Al Muwattha’ yang berisi lebih dari 10 ribu hadits yang menjadi sumber hukum fiqih. Kelak, kitab Al Muwattha’ menjadi rujukan ilmu fiqih yang sangat penting bagi para ulama setelahnya.

Kedahsyatan perkataan Imam Malik ada pada inti perkataannya bahwa apa yang ia lakukan semata ikhlas mencari keridhaan Allah swt.

Imam As Suyuti meriwayatkan, suatu ketika Imam Malik pernah ditanya, “Untuk apa engkau menuliskan kitab itu?” Imam Malik rahimahullah menjawab,”Sesungguhnya sesuatu yang dikerjakan untuk Allah itu akan abadi.

Mathraf bin Abdullah An Nisaburi, sahabat Imam Malik, pernah bercerita bahwa Imam Malik pernah bertanya padanya, “Apa komentar orang tentang Muwattha’ yang kutulis?” Dijawab, “Mereka ada yang menyukai dan ada yang membencinya.” Imam Malik lalu mengatakan, “Jika engkau diberikan usia panjang, engkau akan melihat apa yang dikehendaki Allah dari kitab itu.”

Saudaraku,

Selama berpuluh bahkan beratus tahun setelah itu, kitab Muwattha Imam Malik dikagumi banyak ulama. Imam Abdurrahman bin Mahdi bahkan memuji kitab Muwattha dengan perkataannya, “Kami tak mengenal satu Kitab dalam Islam setelah Kitabullah, yang lebih baik daripada kitab Muwattha Malik.” Imam Asy Syafi’I bahkan mengatakan, “Tak ada kitab yang lebih bermanfaat setelah Kitabullah, daripada kitab Muwattha yang ditulis Imam Malik rahimahullah.” (At Tamhiid li Ibni Abdil Barr, 1/77)

Ada banyak kitab Muwattha’ selain Muwattha Imam Malik, yang juga ditulis oleh para ulama setelah itu. Tapi tebalnya tidak setebal Muwattha Imam Malik. Dan yang paling penting, kitab-kitab Muwattha’ selain karya Imam Malik, tidak lama beredarnya, atau tidak beredar sama sekali. Ada Muwattha Ibnu Abi Daib. Imam Daru Quthni mengatakan, “Imam Abu Dzaib menuliskan buku Muwattha’, tapi tidak dipublikasikan.” Ada juga Muwattha Ibnu Wahab, milik Imam Malik. Adz Dzahabi mengatakan, “Muwattha’ Ibnu Wahab cukup tebal tapi saya tidak pernah melihatnya.”

Apa rahasianya? Menurut Imam Abdul Barr, rahasia di balik kelanggengan manfaat kitab Muwattha’ Imam Malik kembali pada niat awal saat sang Imam menuliskan lembar demi lembar kitab tersebut sebagaimana yang dikatakannya, “Sesungguhnya apa yang dilakukan karena Allah itu akan abadi.” Itulah yang kemudian disimpulkan oleh Imam Abdul Barr, bahwa semua perbuatan yang dilandasi keikhlasan karena Allah swt, karakternya bermanfaat dan tak mudah lekang.

Saudaraku,

Barangkali, kita pernah berpikir saat ingin memulai pekerjaan baik. Apakah pekerjaan yang kita lakukan akan berguna nantinya? Atau pekerjaan ini akan hilang begitu saja, tanpa arti? Bila hati kita sakit –semoga Allah swt tidak menjadikan hati kita sakit–, mungkin akan menyuarakan pertanyaan lain, bagaimana reaksi orang lain yang melihat kebaikan yang kita kerjakan?

Apa yang dilakukan Imam Malik rahimahullah saat menulis Al Muwattha’ menjadi pelajaran besar tentang rahasia yang terjadi dalam korelasi antara hasil suatu pekerjaan, manfaat dan eksistensi kebaikan yang dilakukan. Amal apapun yang kita inginkan besar manfaatnya dan lama eksistensinya, seiring sejalan dengan bobot keikhlasan pelakunya. Allah swt berfirman, “Adapun buih maka ia akan segera hilang, sedangkan sesuatu yang bermanfaat bagi manusia itu akan tetap di muka bumi.. “ (QS. Ar Ra’d : 17).

Al Jahiz mengatakan, “Perhatikanlah wahai para penulis. Jika engkau melakukannya tanpa keikhlasan, tulisanmu akan menjadi seperti buih yang hilang. Seperti tumbuhan di musim buah, yang akan terbakar oleh angina musim panas.”

Seperti apa yang dilakukan oleh Al Imam Al Bukhari, ketika meletakkan bab tentang niat di awal kitab shahihnya. Penempatan bab tersebut, antara lain agar semua orang yang membacanya, tahu bahwa kitab itu sendiri ditulis dengan niat karena Alalh swt. Juga agar siapapun yang membacanya juga mengetahui bahwa pertama kali yang harus diingatkan saat membaca kitab itu adalah mengikhlashkan niat karena Allah swt. Hal yang sama juga diikuti oleh Imam An Nawawi saat menyusun hadits dalam kitab Riyadhus Shalihin.

Saudaraku,

Ketika para sahabat radhiallahu anhum, para ulama dan para juru dakwah rahimahumullah, bahkan kita melakukan amal kebaikan dengan ikhlash, kita akan melihat bagaimana pengaruh dan usia manfaat amal itu. Sungguh banyak kitab dan peninggalan bersejarah yang ditinggalkan para ulama yang ikhlash, yang tetap terkenang dan berlanjut kegunaannya sampai sekarang. Terlalu banyak perkataan para sahabat, dan perbuatan mereka yang tetap terekam dan dijadikan panduan saat ini karena mereka dahulu melakukan semuanya dengan keikhlasan. Arti lebih jauhnya, niat ikhlas yang ternoda, akan mengurangi kualitas sebuah amal shalih, meringankan bobot pekerjaan yang kita lakukan, dan memperpendek rentang waktu manfaatnya.

Ketika seorang yang melakukan perbuatan baik mulai melihat pada kegandrungan hati manusia terhadapnya, berarti ia telah memasukkan faktor “syirik” di dalam niatnya. Karena dengan demikian ia pasti mulai merasa puas dengan apa yang dilihat orang dari amal dan perbuatan yang dilakukannya.” Imam Ibnul Jauzi dalam Shaidul Khatir

Seperti ungkapan Imam Ibnul Jauzi dalam Shaidul Khatir, “Ketika seorang yang melakukan perbuatan baik mulai melihat pada kegandrungan hati manusia terhadapnya, berarti ia telah memasukkan faktor “syirik” di dalam niatnya. Karena dengan demikian ia pasti mulai merasa puas dengan apa yang dilihat orang dari amal dan perbuatan yang dilakukannya. Dan di antara, keniscayaan dalam keikhlasan adalah seseorang sama sekali tidak melihat kecenderungan hati manusia kepada dirinya. Seandainya kondisi itu terjadi, harus menjadi keadaan yang tidak disukai, dan bukan menjadi sebuah tujuan. Orang yang melalui amalannya ia ingin dilihat oleh makhluk, berarti telah menyia-nyiakan amalnya. Karena amalnya tak diterima di sisi Allah Al Khaliq, dan juga tidak berarti bagi makhluk. Hati manusia akan berpaling darinya, dengan begitu sia-sialah amalnya dan hilanglah usianya.” (Shaidu al Khatir/122).

__

M. LILI NUR AULIA

Muhammad Lili Nur Aulia, menekuni dunia menulis professional sejak Tahun 1993 di berbagai media. Latar belakang pendidikannya di Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab, dan S2 din Islamic Economic andn Finance di Universitas Trisakti. Tema-tema ruhani dan Dunia Islam yang menjadin spesialisasinya terasa berkarakter. Lili, biasa disapa, juga menjadi penerjemah dan penulis sekitar 25 buku, serta pembicara di berbagai event nasional dan internasional.

Facebook Comments Box

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here