Oleh: Imam Shamsi Ali*
Tantangan bukanlah kiamat. Bukan akhir dari sebuah harapan. Justeru tantangan adalah pemicu dan pemacu dalam melaju dan melejit menuju kemenangan. Kisah Al-Isra wal-Mi’raj atau konsepsi ulul azmi para rasul mengajarkan demikian.
Bahkan dalam hukum alam, semakin keras hempasan bola, akan semakin keras pula kemungkinan refleksi baliknya.
Oleh karenanya, seperti digambarkan pada postingan sebelumnya, tantangan hendaknya dihadapai dengan mata optimisme dan dengan kejelian menangkap setiap kemungkinan peluang yang ada.
Out of comfort zone
Ketika umat berada dalam zona yang menyenangkan (comfort zone) maka semua akan dihadapi secara “taken for granted” (sudah demikian adanya/dijamin). Hal demikian menjadikannya tertutup untuk menerima hal-hal baru.
Dan ini akan lebih runyam lagi ketika umat itu berada dalam suasana mayoritas. Dalam suasana mereka merasa berada di atas angin. Semua akan dilihat seperti biasa dan tidak istimewa. Sebaliknya semua yang terjadi di luar dari “comfort zone” (zona nyaman) mereka akan ditolak, bahkan dianggap ancaman yang membahayakan.
Tantangan-tantangan hidup yang dihadapi, baik pada tataran personal maupun keumatan, terkadang memerlukan keberanian untuk mengambil sikap. Termasuk di dalamnya keluar dari kebiasaan lama, atau lingkungan lama yang mengungkung.
Ambillah sebagai misal pemahaman tentang miskonsepsi atau kesalah pahaman, bahkan ketakutan atau phobia sebagian orang terhadap Islam. Pada umumnya umat menyikapinya dengan kekesalan dan tuduhan. Atau minimal medialah yang menjadi pembenaran kemarahan. Tidak disangkal adanya keterlibatan media, atau memang kebencian sebagian orang terhadap Islam itu sendiri.
Namun jika kita berani, salah satu hal yang paling efektif dalam menghadapi masalah ini adalah keberanian untuk “menengok” realita kehidupan umat dan mengaitkannya dengan “konsepsi” Islam yang sesungguhnya. Insya Allah akan terlihat gap besar, jurang pemisah antara realita kehidupan umat dan konsepsi Islam tentang kehidupan.
Jika hal ini disadari, atau telah nampak di hadapan pelupuk mata, yang menjadi tantangan kemudian adalah apakah umat ini mau keluar dari “kandang nyamannya”? Sebab seringkali warna kehidupan itu tanpa disadari berubah menjadi sebuah “dogma kehidupan, bahkan menggeser keimanan kepada Islam itu sendiri. Sehingga untuk keluar dari warna atau kandang nyaman itu terkadang memang sangat tidak nyaman.
Ibda binafsik!
Salah satu ciri Islam adalah selalu memotivasi pengikutnya untuk melakukan perbaikan. Mereka diperintahkan tidak saja menjadi “orang-orang saleh” (orang-orang baik) tapi orang-orang yang berkarakter “muslihun” (orang-orang yang memperbaiki atau membawa perbaikan).
Bahkan ini juga diakui mereka yang munafik: “dan jika dikatakan kepada mereka (munafik) jangan berbuat kerusakan mereka menjawab: kami hanya melakukan perbaikan (muslihun)” (Al-baqarah).
Artinya pengakuan kaum munafik yang demikian karena memang “al-islah” atau perbaikan menjadi ciri utama keumatan.
Akan tetapi perbaikan itu oleh Islam selalu ditekankan pada “memulai pada diri sendiri”. Sehingga komitmen memperbaiki masyarakat luas namun tidak pada diri dipertanyakan oleh Al-Quran: “Apakah kamu menyuruh manusia berbuat baik tapi kamu lupa diri kamu sendiri”?
Bahkan dengan terbuka mendeklarasikannyanya sebagai suatu hal yang dibencinya: “Wahai orang-orang beriman! Kenapa kamu mengatakan apa yan kami tidak lakukan? Sungguh dibenci oleh Allah bahwa kamu mengatakan apa yang kamu tidak lakukan”.
Jika kita menengok sejarah Rasul juga demikian. Dakwah beliau bertahap dari keluarga, kabilah, teman-teman dekat hingga ke masyarakat luas. Maka beliaupun mengingatkan: “ibda’ binafsik” (mulailah dengan dirimu sendiri).
Jika kita jujur pada diri kita maka saat ini seringkali terbalik. Ketika akan melakukan perbaikan, ingin menyelesiakan permasalahan, kita akan membelalak melihat kepada kesalahan orang lain. Jika mereka memang ada kesalahan kita bersemangat untuk merubah mereka. Atau marah kepada mereka. Tapi jika pada mereka tidak ditemukan kesalahan maka akan dibangun berbagai “kecurigaan” atau bahkan “teori konspirasi” bahwa memang mereka itu begini atau begitu.
Padahal jika saja kita sekali lagi, berani membelalakkan mata kepada diri sendiri akan kita temukan berbagai “penyakit kronis” yang sudah sekian lama menggerogoti tubuh umat ini. Dan adalah mustahil untuk mampu mengobati orang lain di saat umat ini sendiri sedang terbaring dengan penyakit kronisnya.
Karenanya penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi seharusnya dimulai dengan “memulai dari diri sendiri”. Ingat, ibda’ bunafsik! Sebagaiman disampaikan baginda Rasulullah SAW.
Bersambung.
- * Presiden Nusantara Foundation USA