“Ia adalah seorang genie, genius. Ia yang dapat menggariskan haluan SI (Syarikat Islam) dengan tegas, ketika tantangan-tantangan tiba dari kalangan yang tidak hendak menyertakan agama ke dalam pergerakan. Dalil-dalilnya bersandar pada al-Quran, hadis dan riwayat-riwayat Nabi Muhammad saw., serta Islam pada umumnya.(Dr. Deliar Noer, “Membincangkan Tokoh-tokoh Bangsa”)

Agus Salim adalah sosok yang cerdas, lincah, sederhana, dan taat beribadah. Pahlawan bergelar Masyudul Haq (Pembela Kebenaran) ini berasal dari Tanah Minang, Sumatera Barat. Beliau dilahir di tengah keluarga yang taat beragama, tepatnya di Koto Gadang, Bukittinggi pada tanggal 8 Oktober 1884 M. Surau yang dijadikan oleh masyarakat Minang sebagai salah satu pusat pengkaderan generasi muda, berhasil membentuk karakteristik pemuda yang taat, cerdas, tangguh dan pemberani dalam menentang penjajahan Belanda ketika itu. Agus Salim adalah salah satunya.

Kecerdasan intelektual dan kematangan spritual Agus Salim terbukti ketika beliau meraih nilai terbaik di HBS (Hogere Burgerschool), Sekolah Menengah Atas 5 tahun pada zaman Hindia Belanda. Hal ini membuat R.A Kartini menaruh perhatian yang sangat besar kepadanya. Pada tahun 1903, setelah Salim menyelesaikan pendidikan di HBS dengan nilai tertinggi ketika itu, Kartini berkeinginan agar pemuda ini disekolahkan ke Belanda dengan mengambil jurusan kedokteran. Kartini berniat mengalihkan beasiswa sebesar 4.800 Gulden untuknya. Namun beasiswa ini ditolak oleh Salim, karena menurut beliau bantuan dari penjajah tidak layak diterima. Sikap ini lahir dari keberanian Salim yang sudah terasah sejak kecil untuk menentang kebijakan-kebijakan kolonial

Dalam usia yang sangat muda, Agus Salim sudah berhasil menguasai sedikitnya tujuh bahasa asing, yaitu bahasa Arab, Belanda, Inggris, Turki, Perancis, Jepang dan Jerman. Kecerdasan dan kepiawaian Agus Salim dalam berdiplomat ternyata sangat dibutuhkan oleh negara dan penjajah ketika itu. Belanda menawarkan kepadanya untuk menjadi penterjemah pada Konsulat Belanda di Jeddah pada tahun 1906-1911. Didorong oleh keinginan yang sangat dalam untuk mendalami Islam di Tanah Suci, Salim menerima tawaran ini. Di Mekkah, Salim mendalami ilmu agama dengan Syeikh Khatib al-Minangkabawi, pamannya yang sudah menjadi Imam di Masjidil Haram saat itu. Disamping ilmu-ilmu agama, Syeikh Khatib juga mengajarkan Salim ilmu diplomasi dalam hubungan internasional.

Sepulang dari Jeddah, Salim tidak lagi bekerja untuk Belanda, tetapi mendirikan sekolah HIS (Hollandsche Inlandsche School), sebelum kemudian memasuki dunia pergerakan nasional melalui Sarekat Islam, Jong Islamieten Bond, dan Gerakan Penjadar. Salim memulai karir politiknya dengan masuk sebagai anggota Sarekat Islam (SI) yang dipimpin oleh H.O.S. Tjokroaminoto pada tahun 1915. SI sendiri kemudian berubah menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) pada tahun 1929.

Seperti dituliskan Dr. Deliar Noer, Tjokrominoto sebagai ketua SI pertama selalu mendahulukan Salim sebagai juru bicara dalam berbagai Muktamar, diantaranya pada Muktamar di kota Mekah. Ini karena Tjokrominoto tidak bisa berbahasa Arab. Meskipun begitu, Salim selalu menjaga hati sahabatnya. Ini terbukti ketika Salim tidak pernah mmbeberkan kekurangan sang ketua hingga akhir hayatnya. Tongkat kepemimpinan SI berpindah ke tangannya ketika sang ketua pertama ini meninggal dunia.

Pada tahun 1928 Salim pernah berangkat ke Jawa dari Sumatera tanpa menggunakan sendal untuk mempelopori sumpah pemuda. Pada masa hampir berakhirnya kekuasaan Jepang, ia menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang merancang UUD 1945 bersama 18 orang lainnya yang dipimpin Ir. Soekarno. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Agus Salim diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung. Selain itu Salim juga dipercaya sebagai Menteri Muda Luar Negeri dalam Kabinet Syahrir I dan II serta menjadi Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Hatta.

Pengetahuan dan kepiawaiannya dalam berdiplomasi menyebabkan ia dipercaya dalam berbagai misi diplomatik dalam rangka memperkenalkan negara baru Republik Indonesia ke dunia luar, serta bagian dari diplomasi dalam mempertahankan kemerdekaan. Salah satu buah dari upaya diplomasi itu adalah ditanda tanganinya pengakuan kedaulatan dan perjanjian persahabatan dengan Mesir pada 1947. Melalui desakan Ikhwanul Muslimin yang dipimpin oleh Hasan al-Banna, Mesir tercatat sebagai negara pertama di dunia yang mengakui kemerdekaan Republik Indonesia.

Kejeniusan yang dibungkus kesederhanan Agus Salim terlihat ketika beliau menghadiri berbagai macam muktamar. Sebuah kisah yang sarat dengan ibrah, dalam salah satu konferensi besar Beliau makan dengan menggunakan tangannya, sementara ketika itu para peserta muktamar menggunakan sendok. Ketika sebagian anggota muktamar mencemooh dengan mengatakan “Salim, Sekarang tidak saatnya lagi makan dengan tangan, tapi dengan sendok”, pemuda cerdas ini menjawab penuh wibawa “tangan yang selalu saya gunakan ini selalu saya cuci setiap kali akan makan, dan hanya saya yang memakai dan menjilatnya. Sementara sendo-sendok yang kalian gunakan sudah berapa mulut yang telah menjilatnya”. Hadirin ketika itu malu terdiam.

Kisah lain, pada sebuah muktamar beliau menjadi juru bicara ditengah para hadirin. Karena kecintaan pada sunnah Rasulullah Saw., salim memanjangkan dan memelihara jenggotnya. Karena jenggot merupakan sebuah tradisi yang aneh menurut Belanda, para kolonial menirukan suara kambing saat beliau berpidato. Dengan penuh bijaksana Salim menyahut: “Kambing-kambing yang mengembik silahkan keluar”. Akhirnya kolonialpun merasa malu dan semakin segan kepada Salim.

Saat terjadi Agresi Militer Belanda II, Agus Salim ditangkap bersama dengan pejabat tinggi negara lainnya, antara lain Presiden dan Wakil Presiden. Sesudah pengakuan kedaulatan, beliau tidak duduk lagi dalam pemerintahan, tetapi buah pikirannya tetap diperlukan oleh pemerintah sehingga ia tetap ditunjuk sebagai penasehat Menteri Luar Negeri. Di samping itu, Agus Salim juga sering memberikan kuliah di Amerika Serikat.

Dalam kehidupan sehari-hari Agus Salim bersama keluarga dikenal dengan pola hidup sederhana, penuh kasih sayang terhadap anak dan isterinya. Surat cinta yang beliau tulis dari Kairo pada 17 Juni 1947 untuk istri dan anak-anak tercinta melukiskan sosok Agus Salim sebagai ayah yang penuh perhatian kepada keluarga. Ketika para pejabat berkunjung ke rumah beliau, saat pembicaraan berlangsung tiba-tiba anak beliau minta digarukkan, sang ayah pun minta permisi sejenak pada tamunya untuk memenuhi hajat sang anak.

Hari kamis 8 Rabi’ al-awwal 1374 H./4 November 1954 M. dalam usia 70 tahun sang pahlawan tangguh “H. Agus Salim” harus menemui panggilan Rabbnya. Menurut pengakuan anak beliau yang bungsu “Mansur Ciddiq”, sebelum menghembuskan nafas terakhir, ayahnya masih sempat mengucapkan asma Allah. Tokoh yang menerima Gelar Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No. 657-1961 tanggal 27 Desember 1961 ini, dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

Kata-kata beliau yang penuh dengan makna tarbiyah kepada keluarga di antaranya terlukis melalui suratnya untuk sang istri kala ia mendapat tekanan dalam proses perundingan dengan Belanda: “Bismillahirrahmanirrahim’ MERDEKA! Dinda sayang, terima kasih atas surat Dinda yang menyenangkan hati itu. Dalam keadaan yang sesungguhnya merupakan bala, masih juga dapat kita menyaksikan nikmat Allah subhanahu wata’ala yang dalam kesukaran dapat juga memberi kelapangan. Kanda seperti yang sudah kerap dinda katakan, rupanya diperlakukan Allah dengan istimewa… sebab itu baiklah kita bersyukur memuji Allah Swt., atas rahmat karuniaNya yang terang terbukti dan dengan sabar menantikan dengan harap apa-apa takdirNya tentang itu. Sementara itu yakinlah Dinda akan cinta kasih sayang kanda dan terimalah peluk ciumku dengan salam dan doa”. Berkenaan dengan masa datang, tenangkan hati dengan harapan dan percaya kepada Allah Swt., sabar dan tawakal…

Kini “The Grand Old Man” itu telah pergi untuk selamanya. Nama harum telah beliau lukis melalui perjuangan militan yang dibalut dengan tujuan yang jelas dan ibadah yang kuat kepada Allah Swt.. Sungguh negeri ini sangat menantikan hadirnya pejuang-pejuang sekelas Salim, yang siap menjual dirinya untuk izzah dakwah dan umat ini. Semoga para kader dakwah bisa meneladani perjuangan beliau, amin.
Hendri Susanto

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini