Agar kita mengetahui bagaimana Islam menangani masalah non-muslim dan bagaimana berinteraksi dengan mereka. Kiranya penting untuk mengetahui pandangan dasar Islam terhadap jiwa manusia secara umum.

Sesungguhnya secara umum, jiwa manusia terhormat dan dimuliakan dan perintah ini bersifat global, tidak ada pengecualian, sebab warna,  jenis atau agama, Allah berfirman dalam kitab-Nya: (Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan). [QS Al-Isra’: 70].

Penghormatan ini  umum dan menyeluruh, ia menaungi orang-orang muslim dan non muslim ; maka semuanya ditinggikan di daratan dan di lautan, seluruhnya diberi rezki dari yang baik-baik dan seluruhnya diutamakan atas yang lainnya dari ciptaan Allah Swt.

Pandangan yang konprehensif ini tercermin untuk seluruh manusia dan penghormatan kepada setiap manusia dalam setiap pasal dalam pasal-pasal syariat Islam, pandangan yang konprehensif ini juga tercermin dari setiap ucapan dan perbuatan Rasulullah Saw., hal ini menjelaskan kepada kita, satu-satunya jalan, dimana Rasul Mulia berinteraksi dengan orang-orang yang berbeda dengan beliau dan orang-orang yang mengingkari beliau Saw.

1. Larangan Membunuh dan Mendzalimi Jiwa Manusia

Rasulullah berinteraksi dengan jiwa manusia dengan cara memuliakan jiwa tersebut, maka jiwa manusia tidak boleh dihina atau dizalimi, atau melanggar hak-hak jiwa, atau sekedar mengurangi fungsinya. Hal ini jelas dan telah dijelaskan dalam ayat-ayat al-Qur’an, begitupun dalam kehidupan Rasulullah Saw.

Allah berfirman: (Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar). [QS Al-An’am: 151].

Perintah di sini bersifat umum, mencakup jiwa kaum muslimin dan jiwa non muslim, maka keadilan dalam syariat bersifat global dan tidak terpisah-pisah.

Sungguh indah apa yang dikatakan oleh Al-Qurthubi[1] memberi komentar terhadap ayat ini, ketika ia mengatakan: “Dan ayat ini adalah larangan membunuh jiwa yang diharamkan, baik itu jiwa seorang mukmin atau jiwa non muslim dan terikat janji dengan orang Islam, kecuali karena sebab yang benar, yang mewajibkan membunuhnya”.[2]

Kemudian Al-Qurthubi Rahimahullah menyebutkan beberapa hadits nabi yang menunjukkan makna ayat ini, di antaranya –sebagai contoh- hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakar ra., dari Rasulullah Saw., bersabda : “Barang siapa yang membunuh seorang mu’ahid bukan pada tempatnya, maka Allah mengharamkan baginya surga”.[3]

Maka syariat mengharamkan kezaliman dengan seluruh bentuknya, larangan tersebut jelas dalam ayat-ayat dan hadits-hadits yang tidak terhitung dan kezaliman adalah perkara yang tertolak hingga hari kiamat, bahkan Allah Azza wa Jalla berfirman dalam menggambarkan hisab hari kiamat: (Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun). [QS Al-Anbiya : 47].

Perintah di sini juga bersifat global, maka tidak akan ada jiwa yang dizalimi pada hari kiamat, apapun jiwa tersebut, beriman kepada Allah atau kafir kepada Allah, Muslim atau Nasrani, atau Yahudi, atau selainnya dari agama dan ajaran lainnya.

Sesungguhya kezaliman adalah perkara yang tercelah dan Allah telah mengharamkan bagi diri-Nya, begitu juga Allah mengharamkan kezaliman tersebut kepada hamba-Nya; diriwayatkan Abu Dzar dari Nabi Saw. dan diriwayatkan dari Allah Azza wa Jalla, berfirman : “Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharamkan kezaliman pada diri-Ku dan Ku-haramkan bagi kalian, maka janganlan menzalimi”.[4]

Inilah pandangan Islam sebenarnya kepada semua manusia, ia adalah pandangan menghargai, menghormati dan memuliakan.

2. Islam Menghargai dan Menghormati Jiwa Manusia

Betapa indah dan agung peristiwa yang Rasulullah ajarkan kepada kita, ketika suatu saat lewat jenazah salah seorang Yahudi!!

Telah diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu Abi Laili bahwa sesungguhnya Qais bin Sa’d dan Sahal bin Hunaif, mereka berdua saat berada di Qadisiah dan lewat di hadapannya lewat Jenazah, kemudian mereka berdua berdiri, maka dikatakan kepada mereka berdua : Jenazah tersebut dari penduduk bumi[5]. Maka mereka berdua pun mengatakan : Sesungguhnya Rasulullah Saw., pernah di depannya lewat jenazah, kemudian beliau berdiri dan dikatakan kepada Rasulullah Saw., : Sesungguhnya jenazah tadi adalah jenazah orang Yahudi, maka Rasulullah Saw., bersabda: “bukankah jenazah orang Yahudi tadi adalah jiwa”.[6]

Betapa sungguh agung sikap Rasulullah!!

Inilah pandangan Islam terhadap jiwa manusia..

Rasulullah  Saw., dalam peristiwa ini menanamkan kedalam jiwa setiap muslim untuk menghargai, menghormati setiap jiwa umat manusia dan hal tersebut secara menyeluruh, karena beliau telah melakukan hal tersebut dan memerintahkanya, bahkan setelah Rasul mengetahui jenazah tersebut adalah jenazah orang Yahudi.

Jika kita ingin mengambil pelajaran, orang-orang Yahudi telah hidup sezaman dengan Rasulullah dan orang-orang Yahudi juga menyaksikan ayat-ayat Al-Qur’an dan mereka mendengar hujjah yang tak dapat dibantah serta bukti-bukti yang nyata, tetapi mereka tidak mau beriman, bahkan mereka memusuhi Rasulullah dengan segala bentuk permusuhan baik maknawi atau pun materi. Namun dengan semua sikap keras kepala orang Yahudi ini, Rasulullah berdiri kepada jenazah dari golongan Yahudi yang lewat di hadapan Rasulullah dan jenazah tersebut bukanlah laki-laki yang terkenal, supaya tidak dikatakan – bahwa lelaki Yahudi tersebut- pernah sekali melakukan kebaikan kepada kaum muslimin atau lelaki tersebut berakhlak baik dan bukti kalau lelaki Yahudi tersebut tidak terkenal, sahabat menjelaskan lelaki tersebut dengan sifatnya bukan dengan menyebut namanya, kemudian Rasulullah membenarkan sikapnya dengan sabda beliau Saw.,: “Bukankah jenazah Yahudi tersebut juga jiwa” dan Rasulullah tidak menyebutkan keutamaan jenazah Yahudi tersebut.

Sikap tersebut adalah penghormatan yang hakiki terhadap jiwa umat manusia..

Dan penghormatan ini, tidaklah menjadi pemandangan yang sementara, bahkan Rasulullah tetap berdiri hingga jenazah tersebut hilang dari pandangan; di dalam riwayat Muslim dari Jabir bin Abdullah ra., berkata: “Rasulullah Saw. dan para sahabat berdiri kepada jenazah Yahudi, hingga jenazah tersebut tidak nampak”.[7]

Mari kita bayangkan bersama, bagaimana sikap Rasulullah saat jenazah Yahudi lewat, Rasulullah dan para sahabatnya masih terus berdiri!

Sikap inilah yang telah tertanam dalam memori para sahabat – dan kaum Muslimin setelah sahabat- bahwa Islam menghormati setiap jiwa umat manusia, menghargai dan memuliakannya. Hal inilah yang memotivasi Qais bin Sa’ad[8] dan Sahal bin Hunaif[9] r.a., untuk berdiri kepada jenazah lelaki Majusi penyembah api!

Orang Majusi ini bukanlah ahli kitab dangan sangat berbeda dengan akidah Islam, bahkan mereka adalah kaum yang “diperangi”, walau demikian para sahabat mengetahui nilai jiwa umat manusia, maka mereka menghormatinya dan berdiri kepadanya.

Inilah pandangan kita terhadap non-muslim dan latar belakang inilah yang diletakkan oleh kaum muslimin dalam memori mereka dalam berinteraksi dengan non-muslim.

3. Perbedaan adalah Kepastian

 

Kemudian di samping itu ada juga latar belakang lain, yang menentukan pandangan kaum muslimin kepada orang-orang yang berbeda dengan kaum muslimin dalam akidah dan orang-orang yang berbeda dalam prinsip, yaitu bahwa perbedaan di antara anak manusia adalah sangat mungkin, bahkan perbedaan merupakan sebuah kepastian! Dan tidak ada zaman selamanya, seluruh ulama bersepakat dalam satu pendapat pada sebuah permasalahan, termasuk masalah ketuhanan dan tauhid.

Allah berfirman: (Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat). [QS Hud : 118].

Maka dengan demikian, seorang Muslim dengan mudah menerima keberadaan orang-orang yang berbeda akidah dengannya dan mengetahui bahwa mustahil mereka akan bersembunyi di bumi; oleh karena itu mereka berdampingan dengan orang berbeda secara alami. Terlebih lagi syariat telah menjelaskan dengan gamblan keindahan interaksi dan toleransi bersama kelompok yang berbeda dengan kaum muslimin.

Jika ditambah dengan hal ini, seorang Muslim juga sangat meyakini, bahwa balasan pada hari kiamat adalah kekuasaan Allah dan bahwa jika seorang manusia ingin beriman atau kufur maka hal tersebut dikembalikan kepada dirinya dan akan dihisab oleh Allah pada hari perhitungan. Jika hal ini ditambah dengan pemikiran yang dimiliki kaum Muslimin, maka mereka mengetehui bahwa tidak perlu bagi seorang Muslim untuk berpikir memaksa orang lain agar memeluk Islam, atau memaksa mereka untuk merubah agama mereka, Allah berfirman: (Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang ada di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?). [QS Yunus : 99].

Tugas seorang Muslim adalah menyampaikan dakwah secara murni kepada non Muslim, adapun reaksi mereka dakwah maka hal itu tidak menjadi tanggung jawab seorang muslim dan tidak dihisab. Alllah berfirman: (Dan jika mereka membantah kamu, maka katanlah: “Allah lebih mengetahui tentang apa yang kamu kerjakan”. “Allah akan mengadili di antara kamu pada hari kiamat tentang apa yang kamu dulu selalu berselisih padanya”. [QS Al-Hajj : 78-79].

Dari titik tolak ini dan dari penghargaan Syariat Islam terhadap setiap jiwa manusia dan penghormatan Allah kepada setiap anak Adam, perintah syariat Islam yang memerintahkan berbuat adil, bersikap penyayang, lemah lembut dan saling mengenal dan lainnya dari keutamaan akhlak, seluruh peritah ini dating mencakup seluruh Muslim dan non-Muslim. Dan tidak seperti apa yang telah diselewengkan Yahudi dalam Taurat mereka, mereka menganjurkan bermuamalah dengan baik hanya kepada orang-orang Yahudi saja dan menghalalkan untuk menginjak hak-hak selain mereka!!

Kita dapatkan dalam syariat Islam, misalnya firman Allah dalam masalah rahmat, Allah berfirman : (Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam). [QS Al-Anbiya : 107]. Rahmat di sini bukan khusus untuk orang-orang Muslim, tetapi rahmat di sini bersifat umum untuk setiap manusia dengan beragam agama dan keyakinan mereka.

Dan tentang perintah saling kenal mengenal, Allah Swt., berfirman: (Hai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal ). [QS Al-Hujuraat : 13]. Dan saling mengenal juga tidak hanya terbatas pada kelompok tertentu, tetapi meluas dan mencakup seluruh bangsa dan suku.

Dan rezki di muka bumi terjamin untuk seluruh manusia dan alam tunduk untuk seluruh manusia, tanpa pengecualian antara seorang mukmin atau kafir, Allah Swt., berfirman: (Apakah kamu tiada melihat, bahwasanya Allah Swt., menundukkan bagimu apa yang ada di bumi dan bahtera yang berlayar di lautan dengan perintah-Nya. Dan Dia menahan (benda-benda) langit jatuh ke bumi, melainkan dengan izin-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia). [QS Al-Hajj : 65].

Penundukan bumi, benda-benda langit, lautan dan langit untuk seluruh manusia, penutup ayat ini menjelaskan bahwasanya belas kasihan dan rahmat untuk seluruh orang.

Terkait tentang sifat memaafkan (al-Afw), Allah Swt., berfirman : (Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surge yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. Yaitu orang-orang yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun di waktu sempit dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan). [QS Ali ‘Imran : 133-134].

Maka “memaafkan” adalah sifat dasar seorang mukmin, sifat memaafkan dalam kita lihat dalam ayat ini, bukan khusus untuk orang Muslim saja, tetapi maaf yang luas mencakup seluruh manusia “An-Nas“, sebagaimana yang disebutkan oleh Allah Swt., oleh karena itu ia mencakup kaum Muslimin dan non-Muslimin.

Bahkan lebih dari itu, ketika Allah Swt., menyebut masalah adil yang diperintahkan dalam Islam, Allah tidak menjadikan adil tersebut khusus untuk orang-orang mukmin sendiri dan tidak menjadikan khusus untuk manusia yang kepada manusia yang netral saja. Tetapi keadilan tersebut bagi kaum muslim dan juga bagi non-Muslim, bahkan berbuat adil juga diperintahkan kepada orang-orang yang kita benci!!

Allah Swt., berfirman: (Dan janganlah sekali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan). (QS Al-Maidah: 8).

Inilah pandangan yang penuh dengan rahmat, kelembutan, keadilan dan toleransi, yang menerangkan kepada kita dengan amat jelas akhlak mulia yang dimiliki oleh Rasulullah Saw. dan Rasulullah Saw., mengikuti syariat dalam setiap langkah hidup beliau Saw.

Dan yang menarik perhatian bahwa Rasulullah melakukan hal tersebut pada zaman akhlak para kesatria menjadi asing dan akhlak terpuji menjadi langkah.

Untuk mengetahui ha tersebut, periksalah sebagian perintah dan undang-undang yang ada dalam Taurat yang diselewengkan yang ada pada masa Rasulullah –dan masih berlangsung di masa kita saat ini- maka akan nampak perbedaan yang kontras antara syariat Islam dan buatan manusia yang terinjak-injak dalam lembara-lembaran kitab Taurat.

Di dalam bagian Yasyu’ –misalnya- kamu akan mendapatkan cara interaksi Yahudi dengan selainnya, seperti berikut ini:

“Kemudian Yasyu’ bergerak dan tentara Israel menuju Ajalon, kemudian mereka mengepung dan memeranginya dan hari itu juga mereka menguasai dan menghancurkan Ajalon dan mereka membantai seluruh “setiap jiwa” dengan mata pedang. Kemudian Yasyu bersama kekuatannya dari Ajalon menuju Habroun dan menyerangnya, kemudian mereka menguasai dan menghancurkannya bersama dengan seluruh daerah yang ikut Harboun. Mereka membunuh rajanya dan semua orang yang ada di dalamnya dengan mata pedang dan tidak ada yang tersisa seorang pun, seperti apa yang mereka perbuat terhadap Ajalon, beginilah mereka membunuh seluruh penghuni di dalamnya. Kemudian Yasyu kembali ke Dabiir dan menyerangnya dan menghacurkannya beserta daerah-daerah yang ada di sekitar Dabiir dan mereka membunuh rajanya dan semua “orang” yang ada di dalamnya dan tidak yang selamat dari mereka.[10]

Peristiwa di atas merefleksikan kepribadian dan tabiat yang dimiliki orang Yahudi dan inilah gambaran nabi mereka yang membunuh seluruh jiwa yang orang-orang di luar Yahudi.

Pandangan yang menyimpang terhadap jiwa manusia ini juga dikuatkan di dalam Taurat, pada safar Bilangan, ketika menggamparkan reaksi nabi Musa as. – hashahu- ketika nabi Musa melihat sebagian prajuritnya yang menyisakan anak-anak dan wanita untuk tetap hidup dan menjadikan mereka sebagai tawanan, maka nabi Musa berkata kepada prajuritnya: kenapa kalian membiarkan  –استحيييتم-[11] wanita-wanita itu? Wanita-wanita tersebut telah menyesatkan bani Israel menyembah mulut lembah “faghuur” dan mereka adalah penyebab penghianatan bapak, maka tersebarlah penyakit. Maka sekarang bunuhlah mereka setiap –anak laki-laki- dan bunuh juga setiap perempuan yang menyetubuhi laki-laki dan biarkan mereka yang belum menyetubihi laki-laki.[12]

Dan contoh yang menanamkan permusuhan semacam ini sangat banyak, baik dalam kitab Perjanjian Lama maupun dalam Kitab Perjanjian Baru dan di sini bukan tempatnya untuk menyebutkan hal tersebut, tetapi sekedar untuk menjelaskan keagungan syariat Islam, rahmat dan keadilannya serta toleransi yang dikandung dengan sangat jelas, ketika kita mengetahui bahwa syariat ini diturunkan pada zaman banyaknya ajakan-ajakan permusuhan dan penyelewengan yang menyedihkan.

Dan bukan berarti ketika Islam memiliki pandangan yang menerima perbedaan di samping agama lain, berarti Islam tidak konsen untuk mengajak mereka ke jalan yang benar menurut Islam. Tetapi kebalikan dari itu, Rasulullah tetap menawarkan Islam kepada mereka bahkan kepada musuh bebuyutannya, bagaimana pun besar kejahatan dan makar mereka.

Dan sebagai contoh, ketika Rasulullah mendoakan musuh besarnya: Abu Jahal dan Umar bin Khattab –sebelum masuk Islam- Rasulullah berdoa “Ya Tuhan kami, mulaikanlah Islam dengan masuknya salah satu dari mereka yang Anda inginkan, Abi Jahal atau Umar bin Khattab”, Maka Allah memilih salah satu dari mereka yaitu Umar bin Khattab.[13]

Sejarah yang panjang dari menghalang-halangi  jalan Allah dan cobaan kaum muslimin atas agamanya. Tidak mewariskan dalam hati Rasulullah Saw., untuk membalas dendam, atau keinginan untuk berbuat makar atau sekedar untuk menakut-nakuti. Bahkan sebaliknya Rasulullah Saw., melihat dan menganggap mereka sebagai orang sakit yang membutuhkan seorang dokter, atau orang bingung yang membutuhkan petunjuk, maka dakwah ini datang untuk mereka dengan hidayah, kemuliaan dan keselamatan.

Itulah kepribadian jiwa Rasulullah dan itulah sunah dan jalan Beliau Saw. dan inilah sandaran dan referensi Rasulullah berinteraksi dengan manusia.

Rasul kita yang mulia sangat perhatian agar dakwah ini sampai kepada setiap orang yang berada di luar Islam, maka dia menawarkannya kepada orang-orang musyrik, Yahudi, Nasrani atau Majusi. Dan beliau Saw., mencurahkan segala kesungguhannya agar Islam diterima dengan penuh keridaan dan dengan cara yang paling baik. Bahkan beliau sangat bersedih ketika seseorang atau suatu kaum menolak Islam dan puncak kesedihanya mengundang Allah langsung melarangnya bersedih.

Allah berfirman kepada Rasulullah: (Boleh jadi kamu (Muhammad) akan membinasakan dirimu, karena mereka tidak beriman). (QS Asy-Syu’araa’: 3).

Allah juga berfirman: (Maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka). (QS Faathir: 8).

Walaupun dengan kesedihan yang dalam ini, Rasulullah Saw, tidak lalu malakukan pembenaran untuk menekan seseorang agar menerima Islam, tetapi menjadikan ayat Al-Qur’an (Tidak ada paksaan untuk memasuki (agama) Islam), (QS Al-Baqarah: 256), sebagai jalan (Manhaj) dalam hidup beliau Saw. Maka terciptalah dalam kehidupan beliau keseimbangan yang mengagumkan yang penuh dengan mukjizat, di mana beliau mengajak kepada Islam dengan segala kekuatan, tetapi hal tersebut tidak mendorong seseorang untuk benci kepada beliau selamanya.

Dan sungguh indah apa yang dikatakan oleh beliau Saw. dan ini juga sebagai ringkasan pandangan beliau kepada manusia secara umum…

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwasanya Abu Hurairah mendengar Rasulullah bersabda:  Perumpamaan aku dengan manusia, seperti lelaki yang menyalahkan api yang mengakibatkan binatang-binatang melata dan nyamuk terperangkap masuk ke dalam api tersebut. Aku sudah berusaha memegang ikat pinggang kalian, namun kalian malah menceburkan diri ke dalamnya.

________________

[1]  Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Khazraji Al-Maliky Al-Qurthuby, ulama tafsir, pengarang tafsir yang terkenal (Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an). Wafat di Al-Men’ya, Shaidi, Mesir tahun 671 H., lihat : Az-Zarkaly: Al-I’lam 5/322.

[2] Al-Qurthuby: Al-Jami Li Ahkam Al-Qur’an 7/132.

[3]  Abu Daud (2760), An-Nasai (4747), Ahmad (20393), Ad-Darimy (2504), At-Thayalisy (879) dan Al-Hakim (2631), Al Hakim mengatakan: Isnadnya shahih, hal ini juga disepakati oleh Ad-Zahaby dan berkata Al-Albani : shahih. Lihat: Shohihul Jami (6456).

[4]  Muslim dalam kitab Al-Birr, As-Shilah wa Al-Adab, bab Pengharaman Kezaliman (2577), Imam Ahmad (21457), Imam Bukhari dalam kitab Al-Adab Al-Mufrad (490), Baihaqy dalam kitab Sya’bul Iman (7088) dan Sunan Al-Kubra (11283).

[5]  Atau dari Majusi Persia.

[6]  HR Bukhari dalam kitab: Al-Janaiz, bab : Man Qama li Janazatil Yahudi (1250) dan Imam Muslim: kitab Al-Janaiz, bab: Al-Qiyamu Lil Janaiz (961), menurut lafadz Imam Muslim.

[7]  Muslim: Kitab Al-Janaiz, bab: Al-Qiyam Lil Janazah (960) dan An-Nasai (1928), Imam Ahmad (1928) dan Baihaqi dalam Sunannya (6670).

[8]  Ia adalah Qais bin Sa’ad bin Ubadah, beliau salah cendikia bangsa Arab, pemikir dan ahli strategi dalam perang, beliau orang mulia di kaumnya, memiliki posisi di depan Nabi Saw., sebagai pimpinan keamanan, Rasulullah memberinya bendera pada penaklukan Mekah, wafat di Mekah tahun 60 atau 59 H. Lihat: Ibnu Atsir: Asadul Ghabah 4/272, Ibnu Hajar: Al-Ishabah, biografi No. (7176) dan Ibnu Abdil Barr 3/350.

[9]  Dia adalah Sahal bin Hunaif bin Wahib, menyaksikan perang Badar dan seluruh peperangan bersama Rasulullah, beliau kokoh (tsabat) pada perang Uhud, Ali r.a., menjadikannya wakil saat Ali keluar dari Madinah menuju Basrah, sebagaimana beliau juga menyaksikan perang Shiffin dan Ali menjadikannya gubernur di Persia, wafat di Kufah tahun 88 H. Lihat: Ibnu Abdil Barr: Al-Istia’b 2/223 dan Ibnu Atsir: Asadul Ghabah 2/335 dan Ibnu Hajar: Al-Ishabah biografi No. (5323).

[10] Kitab bagian Yasyu’ dan sebagian ditulis dalam lembaran Yusya 10/34-39.

[11]  استحيا الاسىر : تركه حيا فلم يقتلوه  (Membiarkannya hidup dan tidak membunuhnya), Mu’jam Al-Wasith 1/213.

[12]  Kitab Bilangan 31/7-18.

[13] HR, Tirmidzi: Kitab Al-Manaqib, bab Manaqib Umar bin Khattab (3863) dan mengatakan : hadits ini hasan sahih dan gharib dari hadits Ibnu Umar. Dan Ahmad  (5696), Al-Hakim (4485) dan mengatakan sanadnya sahih, tetapi beliau tidak mengeluarkannya. Dan Ad-Zahabi menyepakatinya, berkata Al-Albani: Hasan sahih, lihat Misykatuh Al-Mashabiih (6036).

Facebook Comments Box

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here