Judul buku : zawâj bilâ masyâkil
Penulis : Dr. Samihah Mahmud Gharib
Penerbit : Dar at-Tauzî’ wa an-Nasyr al-Islâmiyyah
Kairo; Cetakan Pertama; Tahun 2005.
Tebal : 271 halaman.

Melangkah ke dunia baru memang merupakan sesuatu yang membahagiakan bagi pasangan pengantin manapun. Namun, memasuki gerbang rumah tangga bukan berarti meluncur di jalan bebas hambatan. Dari pertama kali melangkah ke pelaminan, berbagai tantangan sudah harus dihadapi. Lepas dari ketergantungan terhadap orang tua, teman, dan saudara, untuk kemudian hidup bersama seseorang yang –boleh jadi– belum begitu dikenal sebelumnya. Semuanya memerlukan persiapan khusus agar tidak terjebak dalam dilema rumah tangga yang dapat mendatangkan penyesalan di kemudian hari. Hal inilah yang semestinya diperhatikan oleh mereka yang akan mengarungi samudera rumah tangga menuju dermaga suci yang didambakan.

Pernikahan merupakan hal yang sangat sakral dan tidak bisa dianggap sekedar sebuah ajang pemenuhan kebutuhan biologis saja. Namun lebih dari itu, ia merupakan pintu menuju ridha Ilahi. Makanya, tidaklah berlebihan manakala Al-Quran membahasakannya dengan istilah mitsâqan ghalîzha (perjanjian yang kuat).

Istilah ini digunakan Al-Quran dalam tiga konteks: Pertama: konteks ikatan pernikahan (Q.S. An-Nisa:21). Kedua: konteks perjanjian Allah Swt. dengan Bani Israil (Q.S. An-Nisa:154). Ketiga: konteks perjanjian Allah Swt. dengan para nabi-Nya bahwa mereka akan menyampaikan ajaran agama kepada umatnya masing-masing (Q.S. Al Ahzab:7).

Dari sini, Al-Qur’an seakan ingin menyampaikan pesan bahwa nilai keagungan sebuah ikatan pernikahan setara dengan perjanjian Allah Swt. dengan Bani Israil, sebagaimana ia sejajar dengan perjanjian Allah Swt. dengan para Nabi-Nya. Hal ini mengisyaratkan bahwa hubungan suami istri tidaklah sekedar arena peng-halal-an terhadap sesuatu yang dulunya haram, tetapi lebih dari itu, pernikahan sesungguhnya menyimpan banyak rahasia agung.

Maka dalam upaya membangun rumah tangga yang harmonis, Dr. Samihah Mahmud Gharib mencoba memberikan solusi dan kita-kiat praktis dalam buku ini. Rumah tangga menurut beliau tidak hanya sekedar ajang kesenangan lahiriyah dan kepuasan biologis. Namun ternyata banyak tanggungjawab yang harus dipenuhi. Semua itu baru bisa dimengerti melalui pembelajaran yang telaten sebelum melangkah lebih jauh.

Buku ini tidak menyinggung tentang apa saja yang harus dipersiapkan sebelum pernikahan, tapi lebih fokus pada pembahasan pasca-nikah. Bagaimana seharusnya sikap seorang istri atau suami di saat benih masalah mulai tumbuh, ketika pasangan sudah tidak lagi seperti saat pertama bertemu dahulu. Bagaimana sebaiknya sikap seorang kepala rumah tangga dalam menghadapi masalah yang muncul. Hampir di setiap halaman buku ini Dr. Samihah memberikan nasehat khusus –di luar tema pembahasan- agar kedua pasangan lebih akrab, harmonis, dan saling memahami. Tidak jarang beliau memberikan kisah nyata sebagai percontohan atas suatu masalah.

Secara umum, buku ini terdiri dari tujuh pembahasan utama. Dalam mukadimah, sebelum masuk kepada pembahasan inti, penulis mengingatkan bahwa menikah bukanlah akhir dari segalanya. Juga kebahagiaan tidak akan selalu menyertai perjalanan hidup. Hal penting yang selalu harus diperhatikan sesungguhnya adalah, bagaimana cara mengambil sikap manakala kebahagiaan meninggalkan kita.

Masuk ke dalam materi pokok, dalam pembahasan pertama Dr. Samihah memaparkan sumber perpecahan dalam rumah tangga. Kecenderungan mengedepankan wajah dan performance dalam memilih pasangan merupakan kesalahan fatal, sekaligus satu diantara tiga belas bibit perpecahan yang beliau sebutkan.

Pada pembahasan kedua, beliau menjelaskan mengapa rasa cinta yang dulunya bersemi tiba-tiba menjadi layu. Apa gerangan yang membuat keduanya merasa saling membosankan, atau tiba-tiba terjadi “perang dingin”. Sang suami tidak lagi menganggap istri sebagai bagian dari hidupnya, begitupun sebaliknya. Bagaimana melestarikan cinta di antara pasangan suami istri? Apa sarana efektif untuk menumbuhkan rasa cinta kepada pasangan hidup anda? Bab ini menjawab tuntas semua itu.

Melangkah pada pembahasan ketiga, penulis menjelaskan pentingnya seorang istri mengetahui etika bergaul dengan keluarga dari pihak suaminya. Bagaimana seorang istri mampu menjadikan keluarga sang suami menjadi bagian dari keluarganya. Kenapa harus demikian? Bab ini memang sangat menarik untuk terus ditelusuri.

Dalam bab keempat, dibahas tentang masalah ekonomi keluarga sebagai instrumen penting rumah tangga yang mesti dicermati. Kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan keluarga sesungguhnya bukanlah karena istri tidak bisa bekerja, akan tetapi agar istri lebih bisa memfungsikan dirinya sebagai ibu rumah tangga dan pendidik anak-anaknya.

Pada pembahasan selanjutnya, beliau menyarankan bagi semua pasangan rumah tangga untuk lebih teliti dalam menanggapi masalah yang mulai timbul. Jangan pandang remeh masalah-masalah kecil, karna sesungguhnya masalah besar itu justru sering bermula dari problem-problem sepele. Berusahalah tanggap terhadap masalah apapun dan segera mencarikan solusinya. Ada beberapa biang pertengkaran yang harus dihindari oleh kedua pasangan. Diantaranya: melawan suami, berbohong pada suami, cemburu yang berlebihan, dll.

Pada pembahasan-pembahasan terakhir, Dr. Samihah mencoba untuk lebih fokus kepada masalah-masalah pribadi keluarga. Beliau juga mengajak pembaca untuk kembali merujuk pada sumber hukum kita yang ada. Apapun masalah yang timbul, tidak bisa lepas dari tanggung jawab kedua pasangan. Prinsip yang mesti selalu diingat adalah, bahwa apa yang telah Allah Swt. gariskan merupakan yang terbaik untuk hambanya. Wallahu a’lam bi al-showab.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini