Den Haag, Islamic Geographic – Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi menyampaikan pernyataan lisan Indonesia untuk mendukung fatwa hukum (advisory opinion) Mahkamah Internasional mengenai konsekuensi hukum pendudukan ilegal Israel atas Palestina. Dalam pernyataan lisan yang disampaikan di Den Haag, Jumat (23/2) tersebut, Menlu Retno menyebut Israel telah melakukan “Apartheid” terhadap tanah Palestina.
Dalam pemarannya, Menlu Retno juga menguraikan berbagai argumen sebagai masukan dan untuk memperkuat pemberian fatwa hukum oleh Mahkamah Internasional.
Ada dua aspek utama dalam pernyataan lisan Indonesia. PERTAMA, dari sisi yurisdiksi, Menlu menegaskan bahwa Mahkamah Internasional memiliki kewenangan untuk memberikan fatwa hukum. KEDUA, dari sisi substansi, Menlu menegaskan bahwa berbagai kebijakan Israel bertentangan dengan hukum internasional dan menguraikan konsekuensi hukumnya.
“Saya mulai argumentasi PERTAMA, yaitu terkait yurisdiksi. Saya menegaskan bahwa Mahkamah Internasional memiliki yurisdiksi untuk memberikan advisory opinion. Saya juga menegaskan bahwa tidak ada alasan apapun bagi Mahkamah Internasional untuk tidak memberikan opini-nya karena ini sudah sesuai dengan yurisdiksi hukum Mahkamah Internasional,” kata Menlu Retno dalam pernyataan kepada media (23/2).
Menlu menguraikan tiga alasan di balik argumen tersebut. Pertama, pemberian fatwa hukum tidak mengganggu proses negosiasi perdamaian karena saat ini memang tidak ada proses negosiasi yang sedang berlangsung. Sebaliknya, yang terjadi adalah Israel terus-terusan melanggar semua ketentuan hukum internasional dan tidak menghiraukan keputusan Dewan Keamanan PBB.
Kedua, Menlu menyampaikan bahwa fatwa hukum Mahkamah Internasional tidak ditujukan untuk mengambil kesimpulan akhir dari konflik saat ini, karena solusi konflik hanya dapat dilakukan melalui perundingan. Meski demikian, fatwa hukum tersebut akan mempermudah Majelis Umum PBB dalam mengambil sikap sesuai fungsinya terkait konflik Israel-Palestina.
“Ketiga, fatwa hukum Mahkamah Internasional akan secara positif membantu proses perdamaian dengan cara mempresentasikan elemen hukum tambahan bagi penyelesaian konflik secara menyeluruh,” ujar Menlu.
Argumentasi KEDUA adalah terkait substansi fatwa hukum itu sendiri. Menlu menyampaikan bahwa Mahkamah Internasional telah secara jelas menyatakan Palestina berhak untuk menentukan nasib sendiri (self-determination), sehingga hal ini tidak lagi menjadi isu. Berbagai Keputusan DK PBB dan SMU PBB juga memperkuat hal tersebut. Pemenuhan hak tersebut menjadi kewajiban bagi semua (erga omnes).
Menlu menyampaikan empat alasan untuk argumen tersebut. Pertama, pendudukan Israel dilakukan sebagai hasil dari penggunaan kekerasan yang tidak dapat dibenarkan (unjustified). Kedua, Israel telah melakukan aneksasi ilegal terhadap Occupied Palestinian Territory (OPT).
“Di sini saya tambahkan argumentasi bahwa pemerintah pendudukan memiliki kewajiban hukum untuk menjadikan pendudukannya, bersifat sementara. Namun Israel telah menjadikannya permanen dan bahkan mencaplok sebagian dari wilayah pendudukan itu sendiri,” terang Menlu.
Ketiga, Israel terus memperluas pemukiman ilegal. Kebijakan Israel memindahkan penduduknya ke wilayah pendudukan dan secara paksa memindahkan bangsa Palestina dari wilayah pendudukan sangat berlawanan dengan aturan dasar dalam Hukum Humaniter Internasional. Israel melanggar pasal 49 Konvensi Jenewa Keempat di mana Israel merupakan negara pihak konvensi tersebut.
Keempat, Israel telah menerapkan kebijakan apartheid terhadap bangsa Palestina, terlihat dari diberlakukannya dua rezim kebijakan yang berbeda untuk warga Yahudi dengan warga Palestina. Ini jelas-jelas merupakan pelanggaran hukum internasional
“Di akhir pernyataan lisan, saya tegaskan bahwa tidak ada satupun negara yang berada di atas hukum. Setiap manusia, tanpa kecuali, dilindungi oleh hukum. Saya juga menegaskan jangan sampai masyarakat internasional terus membiarkan Israel melanjutkan tindakan-tindakan ilegalnya. Saya tutup pernyataan lisan saya dengan mengatakan bahwa dunia dan masyarakat internasional memiliki harapan besar terhadap Mahkamah Internasional,” kata Menlu.
Sebagaimana diketahui, Majelis Umum PBB melalui Resolusi 77/247 tahun 2022 telah meminta Mahkamah Internasional mengeluarkan fatwa hukum terkait konsekuensi hukum pendudukan ilegal Israel atas Palestina. Selanjutnya, Mahkamah meminta negara-negara untuk memberikan masukan guna membantu penyusunan fatwa hukum dimaksud. Sebelumnya pandangan tertulis Indonesia telah disampaikan pada Juli 2023. Selain Indonesia, pernyataan lisan juga disampaikan oleh 51 negara dan 3 organisasi internasional.