“Kemenangan begitu dekat, walau rintangan selalu menghadang. Fajar segera menyingsing, walau malam begitu kelam”, itulah salah satu petuah Imam Hasan al-Banna yang selalu terbersit dihatinya. Harapan yang mengingatkannya untuk terus optimis, selalu menanamkan iman, tawakal, dan do’a dalam jiwanya.
Ia adalah orang biasa. Tidak banyak keinginan. Kehidupannyapun sangat sederhana. Untuk ongkos ke mesirpun, ia terpaksa meminta bantuan dari orang-orang dermawan sekitarnya. Sampai di negeri seribu menara ini, keganasan tantangan tidak membuatnya pesimis. Dengan tegar ia lalui nafas kehidupan. Meski terkadang harus serba kekurangan, ngutang sana-sini, namun ia tidak pernah sedih, gelisah, apalagi putus asa. Ia selalu ceria, karena ia jadikan tawakal sebagai salah satu usahanya, munajat sebagai surat permohonannya, doa sebagai kiriman kedua orangtuanya. “Janganlah bersedih dengan cobaan, karena terkadang ia menjadi karunia”, petuah Aid al-Qarni mengingatkannya.
Ketekunannya dalam belajar hampir tidak pernah surut. Walaupun usianya sudah mumpuni untuk menuju jenjang pernikahan, namun staminanya untuk menuntut ilmu masih terhitung muda.
Ia adalah sosok manusia super. Kegiatan hariannya begitu padat, namun ia tidak mau dikalahkan oleh rasa lelah. Ia goreskan tinta amal, ia langkahkan kaki untuk menelusuri jembatan perjuangan. Kampus perkuliahan, tempat talaqqi, bahkan kelompok-kelompok taklim menjadi taman idamannya. Bahkan untuk yang satu ini, ia terkadang lupa jadwal makan. Makananpun baginya apa saja, asal bisa menyambung hidup. “Rasulullah tidak pernah lewat tiga hari berturut-turut dalam keadaan kenyang”, itu yang selalu ia ingat.
Sorot mata teduh, pandangan lepas, langkah pasti, adalah performa gamblang bagi siapapun yang mengamatinya. Ia tidak banyak mengobral kata yang tidak berarti. Gerak lisannya selalu ia jaga. Ia selalu ingat kata-kata Imam Ali R.A: “Hanya lidah yang mau berdusta dan berbohong. Adapun pandangan mata, ayunan kedua belah tangan, langkah kedua kaki dan pergerakan seluruh anggota tubuh akan menafikan apa yang diucapkan lidah”.
Ia tidak begitu dikenal dikalangan mahasiswa, apalagi di bangku-bangku seminar dan diskusi-diskusi ilmiah. Ia hanya dikenal oleh segelintir orang yang pernah mengenal ia sebelumnya, mereka yang ingin curhat dan berbagi masalah dengannya. Ia memang sering menjadi keranjang penampung permasalahan orang banyak.
Penghujung malam adalah kesempatan emasnya untuk curhat kepada sang Rabb. Ia biasa salat dua rakaat sebelum merebahkan diri di pembaringan. Katanya, belum tentu kita masih diberi umur sampai besok pagi. Sepertiga malam, ia bangun, ia gunakan detik-detik itu untuk tahajud, istighfar, dan munajat. Ketika orang lain menikmati indahnya mimpi, iapun menikmati indahnya berdekap erat bersama kasih ilahi. Ibadah-ibadah seperti inilah yang membuatnya terus fit belajar. Ia hapal benar apa yang diungkapkan Ibnu Taimiah: “Masalah menutup jalan pikirku, namun setelah kubaca istigfhar seribu kali, Allah membukakannya kembali”.
Tak jarang ia menangis. Baginya tangisan adalah pencuci dosa. Ia adalah rahasia yang menjadikan terangnya malam. Seorang penyair arab bertanya kepada malam: “Apa rahasia yang membuatmu terang?” Malampun menjawab: “Airmata hamba yang taubat di penghujung malam”. Agaknya, ia selalu ingat apa yang diungkapkan Imam Al-Banna: “Detik-detik malam begitu berharga, maka janganlah kau menyia-nyiakannya dengan kelalaian”. Juga ucapan Muhammad Nasir: “Barang siapa yang mencari seorang mujahid maka carilah orang yang biasa tahajud”.
Soal hiburan, ia menganggap buku sudah cukup sebagai penghibur. Tidak aneh, karena para salafussaleh sering menjadikan salat mereka sebagai sarana refreshing. Inilah barangkali yang dimaksud Rasul dengan seruannya kepada Bilal, sang muadzin: “Wahai bilal, hiburlah kami dengan shalat.”
Ketika bepergian, ia biasanya tidak lupa untuk membawa mashaf kecil dalam genggamannya. Tidak hanya di masjid ataupun rumah, iapun biasa tilawah di bis, disela-sela perjalanannya ke kuliah ataupun tempat pengajian. Keinginannya untuk hapal Al-Quran menuntutnya untuk terus belajar ekstra. Baginya, Al-Quran adalah lentera hidup, cahaya kegelapan, teman di kala kesunyian, penenang di kala kegusaran, obat di kala kesakitan. Al-Quran is his choise.
Begitu mulianya detik-detik kehidupan sang hamba ini. Ia memberikan kita sebuah pelajaran yang berharga, bahwa kekurangan, keterbatasan, dan kesulitan bukanlah penghalang dalam proses belajar dan menuju kesuksesan. Ia telah menunjukkan bahwa tawakal adalah salah satu usaha. Penyair Arab berkata: “Pahlawan sesungguhnya adalah manusia yang tidak menggantungkan dirinya kepada orang lain”. Wallahu a`lam
Jamaluddin