Oleh: Imam Shamsi Ali*

Al-Qur’an menegaskan bahwa setiap rasul diutus dalam bahasa kaumnya (bilisaani qaumih). Bahasa kaum tentunya tidak dibatasi oleh alat komunikasi bicara, tapi mencakup semua lini kehidupannya. Ada bahasa dalam komunikasi (berbicara), tapi juga ada bahasa sosial, kultur, budaya dan tradisi, bahkan bahasa ekonomi dan politik.

Dalam realitanya Islam tidak datang merubah semua sistim yang ada. Tapi datang memperbaiki dan melengkapi apa-apa yang sudah baik dan bermanfaat. Bahkan hingga kepada hal-hal yang mungkin memiliki istilah dan warna baru. Tapi secara substantif punya korelasi dengan nilai-nilai Islam.

Ambillah sebagai contoh dekat proses politik dan pemilihan pemimpin melalui pemilu. Mungkin secara terminologi pemilihan (election atau al-intikhab) tidak atau belum dikenal pada zaman Madinah. Tapi secara substansi melakukan “baiat” kepada pemimpin yang dipilih oleh jadi sama atau minimal mirip dengan memilih pemimpin saat ini.

Maka terlibat dalam proses politik modern boleh jadi bagian dari dakwah “bilisaanil qaum”. Bahwa dengan melibatkan diri dalam proses politik umat menjadi bagian dari proses “islaah” (perbaikan) yang menjadi tujuan dari politik Islam. Memaksakan terminologi dan sistim yang dikenal lama boleh memaksa umat ini untuk menjadi penonton, yang pada akhirnya hanya akan bisa menggigit jari.

Umat yang salehah vs muslihah

Orang-orang beriman itu adala gabungan individu-individu yang merepresentasi kebaikan (kesalehan) hidup, baik pada tataran pribadi maupun kolektifnya. Maka mereka akan selalu sadar apa yang dilakukan, baik secara intelektual, emosional, maupun karya nyata harus merefleksikan kebajikan (righteousness) atau kesalehan.

Akan tetapi dalam banyak kesempatan Al-Quran menuntut umat ini untuk naik ke tingkat yang lebih tinggi dalam nilai kesalehannya. Yaitu kesalehan yang tidak saja bersifat “pasif” tapi justeru harus menghadirkan kesalehan yang bersifat “aktif” (active righteousness).

Jika kesalehan pasif adalah menjadi orang-orang baik dengan melakukan berbagai kebaikan, baik pada tataran personal maupun kolektif, maka kesalehan aktif adalah dengan membangun kesadaran hidup bahwa iman itu menuntut perubahan (at-taghyiir). Dan oleh karenanya kesalehan pasif (pada diri sendiri) masih memiliki memiliki utang besar kepada iman yang ada di dada pemiliknya.

Inilah yanh disadari oleh para nabi sehingga motto kehidupan mereka adalah: “in uriida illal ishlaah” (yang diinginkan dalam perjuangan ini tidak lain adalah perbaikan).

Kata perbaikan ini tentunya berbeda dari sekedar kebaikan. Perbaikan sudah seharusnya baik pada dirinya tapi tidak cukup. Perbaikan justeru harus baik dan membawa perbaikan kepada lingkungannya.

Maka dalam beberapa ayat Al-Quran Allah menegaskan urgendi “perbaikan” dan bukan sekedar kebaikan. Mungkin dalam bahasa yang lebih populer adalah bahwa iman itu menuntut “perubahan”: “sesungguhnya Allah tidak merubah baik sebuah kaum hingga kaum itu merubah nasib mereka sendiri”.

Kara merubah ini adalah kata lain dari “Islaah”. Pelakunya bukan “salehuun” tapi “muslihuun“.

Bahkan mungkin dalam agama ini, konsep “al-amru bil-ma’ruf wan nahyi anil munkar” atau yang biasa diindonesia “amar ma’ruf nahi mungkar” adalah basis perubahan atau perbaikan (islaah) yang kita maksud.

Oleh karenanya “telling Islam to the world” memilki basis “islaah“. Yaitu membawa Islam kepada dunia sebagai kekuatan perubahan dan perbaikan. Tentu kata perubahan dan perbaikan tidak harus ditabrakkan dengan nilai-nilai yanh secara “manusiawi” sudah baik. Tapi memperbaiki dan menyempurnakan nilai-nilai dan kebaikan yang ada.

Tapi upaya perbaikan akan ditawarkan itu kepaa dunia akan layu di tengah jalan jika pelakunya tidak memiliki modal kebaikan tersebut. Mungkin dalam bahasa teman-teman Arab: faaqidus syai laa yu’thi (orang yang tidak punya apa-apa tidak dapat memberi).

Oleh karenanya proses perbaikan ini hanya akan menjadi relevan jika umat selalu memiliki kebaikan. Jika kebaikan-kebaikan atau nilai-nilai kesalehan itu tidak ada pada umat ini akan berat untuk dapat menjadi “carriers of righteousness and change” (pembawa kebajikan dan perubahan).

Maka pada akhirnya untuk umat ini menjadi “force of change” (kekuatan perubahan) dan “carriers of righteousness” (pembawa perbaikan), diperlukan selalu “self preparatory” (persiapan diri). Dan ini perlu dimulai dari pemahaman yang (iqra) hingga kepada political will untuk selalu melakukan “self introspection” (introspeksi diri), dengan motivasi “self criticism” (berani mengidentifikasi kesalahan. Sehingga dengan itu ada keinginan untuk melakukan “self correction” (perbaikan diri), yang dengannya terbangun kesalehan.

Dengan bekal kesalehan itulah umat ini akan “confident” (percaya diri) untuk membawa “islaah” atau perbaikan ke dalam dunia yang semakin tenggelam ke dalam jurang kebobrokannya.

Dan itu pualah misi besar gerakan Teling Islam to the world. Semoga!

Baca juga : Telling Islam to The World bagian 2

Bersambung

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini