Judul buku : At-Tashwîr al-Fanniy Fî al-Qur’an
Penyunting : Sayyid Quthb
Penerbit : Dar as-Syuruq
Tahun terbit : 2004, cet. Ke-XVII
Tebal buku : 258 halaman
Ada satu ciri khas yang biasa ditemui pada setiap buku Sayyid Quthb, yakni adanya persembahan tulisan kepada seseorang atau kelompok yang memberikan kesan dan pesan terhadap pribadinya. Tidak saja sekedar pesan dan kesan, tetapi mampu menampilkan sentuhan yang istimewa baginya. Sehingga, menjadikan buku ini memiliki nilai tambah dalam bobot tulisannya.
Buku ini, sejatinya, dipersembahkan Sayyid Quthb kepada Ibunda tercintanya. Wanita yang telah mengasuh dan mengirimnya ke sekolah dasar tempat para hâfidz (penghapal) al-Qur’an, sehingga hajat ibunya untuk menjadikannya seorang hafidz al-Qur’an benar-benar terwujud. Sayyid Quthb berkata, “Sungguh kini engkau telah pergi meninggalkan aku, wahai Ibunda. Gambaran terakhir yang ada dalam ingatanku mengenaimu, adalah ketika engkau sedang duduk di rumah di depan radio. Saat itu engkau sedang asyik mendengarkan bacaan al-Qur’an yang sangat indah. Tampak dari wajahmu yang anggun bahwasannya engkau bisa memahami arah dan rahasia ayat-ayat tersebut, dengan kebesaran hatimu dan ketajaman perasaanmu. Maka untukmu wahai Ibunda, kupersembahkan buku ini sebagai buah dari bimbingamu yang panjang pada anakmu yang masih kecil dan pada pemudamu yang sudah besar kini. Andaipun keindahaan bacaan itu telah luput dariku, semoga tidaklah luput dariku keindahan takwilnya. Semoga Allah senantiasa menjaga engkau dan aku di sisi-Nya.” (hal. 5).
Kemudian, Sayyid Quthb mengawali tulisannya dengan menceritakan catatan “perjalanan” pribadinya tentang al-Qur’an di masa kecilnya. Di saat pikirannya masih belum bisa menggapai makna-makna al-Qur’an, namun saat itu ia telah mendapatkan sesuatu dalam dirinya. Hal itu terlukis dalam bab , “ Laqad Wajadtu al-Qur’an (Sungguh, telah kutemukan al-Qur’an!)”. Sayyid Quthb bercerita, “ Ketika itu imajinasiku sebagai anak kecil senantiasa membayangkan gambaran-gambaran yang ada dalam ungkapan-ungkapan al-Qur’an. Meskipun gambaran-gambaran itu sangat lugu, namun jiwaku senantiasa merindukannya dan perasaanku bisa menikmatinya. Yang demikian itu aku alami dalam waktu yang cukup lama. Aku merasa senang sekali dan gandrung.”
Di antara gambaran-gambaran lugu yang sempat terbayang dalam anganku kala itu, tandas Sayyid Quthb, ialah yang muncul saat aku membaca ayat, ”Dan diantara manusia ada yang menyembah kepada Allah ‘diatas satu sisi saja’. Apabila kebaikan menimpa padanya maka ia pun menjadi tenang dengannya. Namun jika cobaan menimpanya maka ia ‘membalikkan wajahnya’. Dia itu orang yang akan merugi di dunia dan juga di akhirat”. (Q.S. Al-Hajj : 11). Tidak mungkin ada orang yang akan bisa tertawa andaikata ia membayangkan seperti bayanganku ini: Aku membayangkan seorang yang sedang berdiri di tepian tempat yang tinggi: dudukan yang tinggi – yang biasa aku lihat di kampung – atau puncak dari sebuah bukit yang sempit – yang biasa aku lihat disamping lembah – dan dia sedang melakukan shalat. Akan tetapi, dia tidak mendapatkan tempat yang cukup. Karenanya dia bergoyang-goyang setiap kali melakukan gerakan shalat dan hampir-hampir dia terjatuh. Saya, kata Sayyid Quthb, saat itu bisa melihatnya dan bahkan aku tirukan gerakan-gerakan shalatnya dengan rasa riang tetapi dengan penuh rasa heran! (hal. 7)
Selanjutnya, Sayyid Quthb tak luput menjelaskan kepada pembaca, bahwa tulisannya ini merupakan “perpanjangan tangan” dari artikelnya yang dimuat di majalah “al-Muqhtathif” pada tahun 1939. At-tashwir al-Fanni fi al-Qur’an al-Karim tetap menjadi judul karangannya. Karena judul inilah yang menginspirasikannya untuk memperdalam dan mengumpulkan penggambaran-penggambaran arteristik al-Qur’an serta menjelaskan metode penggambarannya dan pautan-pautan arteristiknya.
Sayyid Quthb dalam bukunya ini membahas tentang ‘Sihir’ al-Qur’an, Bagaimana memahami al-Qur’an, Penggambaran arteristiknya, Imajinasi Inderawi al-Quran tehadap Intelektual dan Kejiawaan, Tujuan Kisah di dalam al-Qur’an dan Model Manusia.
Dalam bab At-Tashwiir al-Fanniy (Penggambaran arteristik), Sayyid Quthb menandaskan bahwa penggambaran (at-Tashwîr) merupakan instrumen utama dalam bahasa gaya al-Qur’an. Karena ia diungkapkan dengan gambar inderawi imajenatif tentang makna intelektual dan kondisi jiwa; tentang peristiwa yang terindera dan fenomena yang terlihat; tentang model manusia dan karakternya. Penggambaran itu juga menampilkan sebuah gambaran yang membentuk sebuah kehidupan yang aktif atau gerakan-gerakan yang aktual. Makna intelektual dinyatakan dalam bentuk atau gerakan. Kondisi jiwa dinyatakan dalam fenomena atau secara nyata. Model manusia dinyatakan dalam sesosok manusia yang benar-benar hidup. Karakter manusia dinyatakan secara ‘menjelma’. Berbagai peristiwa dan fenomena, cerita dan pemandangan, menampilkan sosok-sosok yang benar-benar hadir; disana ada kehidupan, disana ada gerakan-gerakan. Apabila disana terdapat dialog maka ia berlangsung dengan melibatkan segenap unsur imajinasi. Implikasinya, sewaktu seseorang membaca atau mendengarkan ayat-ayatnya, maka ia menjadi lupa bahwa ayat-ayat tersebut adalah kalimat-kalimat yang dibaca atau perumpamaan-perumpamaan yang disuguhkan. Sebaliknya, ia merasakan gerakan-gerakan, pemandangan, atau peristiwa yang benar-benar nyata. (hal. 36)
Dengan mengenal dan memahami penggambaran-penggambaran yang terdapat di dalam al-Qur’an, akan menyadarkan kita bahwa kemukjizatan al-Qur’an benar-benar nyata hingga saat ini. Sayyid Quthb berkata, “Apabila kita menyadari bahwa semua itu ternyata hanyalah huruf-huruf dan lafazh-lafazh yang diam, yang tidak berwarna-warni dan tidak pula bersosok, maka kita pun sadar bahwa itu semua merupakan sebagian dari rahasia kemukjizatan dalam gaya pengungkapan Al-Qur’an. Penggambaran dalam Al-Qur’an meliputi penggambaran dengan warna, gerakan, realitas dan aktualitas, yang kebanyakan muncul bersama-sama dengan deskripsi, dialog, denting kata-kata, lantunan ungkapan, dan irama susunan kalimat, yang semuanya memunculkan gambaran-gambaran yang dapat diindera dengan mata dan telinga, rasa dan imajinasi, pikiran dan perasaan. Dalam al-Qur’an ada kehidupan, bukan kisah tentang kehidupan! (hal. 37)
Buku ini bukan saja menarik untuk dibaca, tetapi juga penting untuk dicermati dan dijadikan rujukan bagi orang-orang yang merasa sulit dan jauh dari menemukan “rasa” kemukjizatan al-Qur’an. Buku ini benar-benar akan membimbing mereka untuk tidak salah dalam memilih “warna” kehidupan dan akhirnya benar-benar menemukan al-Qur’an kembali. Bit-taufîq