Jakarta, Islamicgeo.com – Ulama dan pemikir Islam terkemuka dunia, Dr. Yusuf Al-Qardawi yang meninggal dunia hari ini, Senin (26/09) terhitung enam kali mengunjungi Indonesia. Hal ini menunjukkan perhatian Ulama al-Azhar tersebut kepada pemerintah dan rakyat Indonesia agar berperan di kancah internasional.

Baca: Innalillahi.. Ulama dunia Dr. Yusuf Al-Qardhawi meninggal dunia

Dalam kunjungan terakhirnya ke Indonesia tahun 2007, menurut Sohaib Jassim, Kepala Kantor Perwakilan Stasiun Televisi al-Jazeera di Jakarta, Yusuf Al-Qardawi membawa dua misi utama yaitu agar Indonesia menjadi berada di garis terdepan menjadi negara-negara maju di berbagai sektor, baik ekonomi, sosial, agama dan budaya. Misi kedua adalah mengajak Indonesia agar memainkan peran di kancah Internasional terutama dalam isu-isu keislaman.

Baca juga: Yusuf Al-Qaradawi, Imam Pemikir Islam Kontemporer (1)

Berikut adalah tulisan Sohaib Jassim sebagaimana yang dimuat oleh Era Muslim tahun 2007 silam.

oleh: Sohaib Jassim

Dalam kunjungan keenamnya ke Indonesia, ada dua misi utama yang dibebankan oleh Syaikh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, ketua Persatuan Internasional Ulama Muslim kepada pemerintah dan rakyat Indonesia.

Misi pertama, semua pihak harus bekerja agar Indonesia bangkit menjadi negara di barisan negara-negara maju dalam bidang ekonomi, sosial, agama dan budaya. Semua orang di dunia Arab seperti halnya Qaradhawi melihat Indonesia dengan penuh harap agar mampu memimpin dunia Islam setelah mayoritas dunia Arab dan Islam mengalami kemunduran dalam memainkan peran efektifnya di kancah internasional.

Misi kedua, Qaradhawi mengajak Indonesia baik pemerintahnya, ormas dan orsospolnya agar memiliki peran di kancah internasional, terutama dalam isu-isu keIslaman. Hal ini dikarenakan oleh sejumlah faktor: Indonesia merupakan negara Muslim terbesar, Indonesia tidak memiliki sejarah konflik dengan negara manapun dengan negara-negara Islam di Timur Tengah yang kebanyakan memiliki konflik dan krisis persengketaan. Di samping itu, Indonesia memiliki kursi di Dewan Keamanan PBB dan dianggap sebagai negara non-blok.

Selama ini Indonesia juga sudah banyak berbuat dan mengambil langkah inisiatif. Di antaranya mengirim pasukan penjaga perdamaian ke sejumlah negara sejak selama puluhan tahun hingga saat ini. Ini tentu patut disyukuri. Namun Indonesia dituntut untuk melakukan lebih besar dari itu. Soal isu Palestina misalnya, di mana Jakarta memiliki peluang untuk membantu menggulirkan dialog nasional Palestina antar kelompok dan organisasi yang ada di sana.

Dalam kondisi darurat, Indonesia bisa melakukan intervensi dan mengupayakan secara maksimal menghentikan pertumpahan darah di Irak. Peran Indonesia di sini – dengan bekerja sama dengan negara-negara Muslim moderat – jauh lebih penting dari pada ribuan pasukan Amerika yang dikirim Washington ke Irak yang sama sekali tidak memberikan manfaat apa-apa terhadap rakyat Irak.

Indonesia dan sejumlah negara Muslim lainnya seperti Malaysia, Pakistan, Banglades mampu melakukan upaya yang selama ini selalu gagal, yang diperankan oleh puluhan ribu pasukan Amerika kiriman Presiden Amerika Bush junior.

Sebagaimana kaum Demokrat, Amerika dan Arab memprediksi kegagalan strategi baru ini. Strategi ini sudah kehilangan perspektif baru yang dianut oleh kebanyakan negara dunia. Langkah pengiriman pasukan ini juga tidak akan mampu memberikan alternatif bagi kesalahan-kesalahan yang sudah diperbuat oleh Washington di Irak, sebagaimana yang ditegaskan oleh Menlu Amerika, Condalizza Rice dalam pernyataan terbarunya April tahun lalu.

Dalam pertemuan pertamanya dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Syaikh Qaradhawi sangat tegas menyerukan kepada pemerintah Indonesia agar melakukan intervensi menghentikan pertumpahan darah di Irak dengan cara kerjasama dengan negara tetangga Irak. Ini karena Indonesia dianggap memiliki hubungan yang kuat terhadap negara-negara tetangga Irak tersebut.

Syaikh Qardhawi menegaskan, kelompok Syiah di Irak memiliki tanggungjawab lebih besar atas apa yang terjadi sebab mereka dianggap mayoritas dan militer, polisi, dan sebagian besar institusi negara di tangan mereka. Beliau mengulang ajakannya –seperti yang dinyatakan sejak pertama kali dalam khutbah Jumat dua pekan lalu– kepada ayatullah dan tokoh rujukan Syiah serta pimpinan politik Republik Islam Iran agar melakukan intervensi menghentikan pertumpahan darah di Irak. Karena, Iran dianggap memiliki kunci-kunci pengaruh di kancah politik Irak melalui partai dan organisasi Syiah terbesar berpengaruh di publik.

Ajakan Syeikh Qardhawi ini sama sekali bukan provokasi. Beliau pemimpin moderat dan berimbang dan pernyataannya tenang di dunia Islam. Kelompok Sunni di Irak selama ini meminta kepada Syaikh Qardhawi untuk bersuara karena posisinya di dunia internasional. Namun beliau terlambat menyatakan sikapnya hingga jumlah korban mencapai 660 ribu orang berdasarkan perkiraan peneliti independen Amerika. Bahkan dalam Asosiasi Ulama Muslim Dunia yang beliau pimpin terdapat kelompok Syiah moderat yang tidak rela dengan apa yang terjadi, sebab akan merugikan Syiah sendiri dan Sunni.

Permintaan Syeikh Qardhawi kepada Indonesia untuk ambil bagian pada masalah Irak adalah dalam rangka menghentikan aksi pembantaian yang memakan korban sipil dari kelompok Sunni dan Syiah dalam perang saudara yang ganas. Syaikh Qardhawi menyadari dirinya sebagai seorang da’i yang bertugas mendekatkan antara kelompok-kelompok yang ada.

Beliau pernah menegaskan, dirinya tidak berpihak kepada satu kelompok. Dirinya banyak menghadiri sejumlah forum dan muktamar “taqrib” (pendekatan antar madzhab) di Bahrain, Damaskus dan Maroko. Namun beliau menilai bahwa apa yang terjadi di Irak mengancam semua upaya “taqrib” antar madzhab, menghancurkan semua prinsip toleransi dan kesepahaman hidup berdampingan, tidak berpihak kepada kelompok Sunni dan Syiah, bahkan justru menguntungkan musuh-musuh kaum Muslim.

Dekade Prahara di Irak

Nasib bangsa Irak sungguh teramat menyakitkan. Selama bertahun-bertahun mereka mengalami siksaan dalam penjara besar di bawah rezim Saddam Husain. Bahkan di tengah siksa tak terperikan itu mereka didera embargo ekonomi. Meski embargo ini tidak menyentuh sang presiden diktator atau partainya yang berkuasa. Bahkan sebenarnya rezim Saddam mampu membantu rakyatnya untuk melawan embargo. Tapi sang diktator lebih memilih politik melipatkan gandakan efek embargo internasional ini yang menyebabkan lebih dari setengah juta bayi meninggal di tahun pertama usia mereka.

Kemudian terjadilah perang. Amerika menginvasi pada April 2003 dengan dukungan politikus Irak yang baru. Padahal sebagian besar politikus Irak berharap rezim Saddam digulingkan dengan kudeta internal tanpa campur tangan militer luar.

Sekarang setelah hampir empat tahun penjajahan Amerika, dunia membuktikan bahwa pasukan Amerika telah membuka pintu jahanam di Irak yang membakar seluruh warga Irak dan Amerika. Banyak menteri, perdana menteri dan pejabat tinggi yang datang bersama Amerika tahun 2003 yang merupakan penasehat penjajah melarikan diri alias kabur dari Irak.

Mereka melarikan diri ke Barat kepada ke luarga mereka dan meminta kekayaan yang dulu mereka kumpulkan selama bertahun-tahun setelah gagal membangun negara baru. Mereka melarikan diri karena menyadari bahwa Irak sekarang layaknya pejagalan tempat domba dibantai dengan bahan peledak, ditambah penculikan dan penggeledahan rumah-rumah yang tak kenal jeda.

Setiap hari antara 50-200 nyawa melayang tidak tahu di mana mereka harus dikubur. Di padang pasir atau di kebun atau di sungai. Apa yang terjadi di Irak mungkin diungkap dalam sebuah kalimat dari sejumlah fakta:

* Perang saudara dan antar kelompok Sunni dan Syiah. Kedua kelompok ini memiliki milisi bersenjata yang berperang dan partai politik yang mengusung ideologi kelompok mereka di pemerintah dan di luar pemerintah.

* Ledakan kriminal dengan munculnya puluhan bahkan ratusan mafia penculikan, pembunuhan, penjarahan. Mereka menculik dan meminta kepada ke luarga korban agar menebusnya. Jika tidak ditebus dengan puluhan ribu bahkan ratusan ribu dollar maka sandera mereka akan dibunuh. Perdagangan organ tubuh manusia dari korban penculikan warga Irak untuk dijual di pasar internasional yang dilakukan mafia jahat menjadi sangat marak.

* Perang internal kelompok. Misalnya antara kelompok Sunni dengan Sunni antara Syiah dengan Syiah seperti Brigade Abu Dar’ Syiah Arab berperang menghadapi milisi Syiah yang loyal ke Iran.

* Kelompok bersenjata yang kerjanya antara melawan Amerika dengan aksi terorisme seperti membunuh sipil Irak dengan dicurigai atau tuduhan yang didasarkan kepada fatwa kontroversial. Ada yang mengklaim dari Al-Qaidah dan organisasi tidak jelas lainnya.

* Kelompok-kelompok bersenjata yang mencampurkan adukkan kerjanya antara pembersihan sekte atau perlawanan terhadap penjajah dan tindakan kejahatan lainnya.

* Kelompok perlawanan bersenjata lokal murni yang hanya berjuang melawan penjajah Amerika dan pasukan asing di wilayah yang kosong dari sipil dan ini hanya satu kelompok yang ditakuti Amerika.

* Kelompok bersenjata lainnya yang ditengarai kerjasama dengan penjajah untuk melakukan tindakan sesuai keinginan penjajah. Sebagian orang mengaku melakukan tindakan kejahatan dan mengaku sebagai terorisme dan membunuh sipil atau kelompok pesanan. Ada juga kelompok yang ditengarai melakukan kerja untuk kepentingan negara-negara tetangga.

* Sebagian pasukan pemerintah setempat melakukan pelanggaran terhadap HAM atas nama hukum dan anti-terorisme.

Yang Nampak Hanya 10% dari Realitas Sesungguhnya

Karenanya, kalau ada seseorang terbunuh atau diculik atau seorang wanita diperkosa atau sebuah bom diledakkan, maka tak seorang pun tahu dalam banyak kasus siapa pelakunya dari kelompok-kelompok di atas.

Dari sisi pemberitaan, sebagai wartawan yang bergaul dengan berita setiap hari, penulis katakan tanpa berlebihan “Apa yang dilansir oleh media massa berupa berita dan gambar tentang Irak tidak merepresentasikan kecuali hanya 10% dari hakikat pahit sebenarnya yang berulang-ulang setiap hari.” Agar kita menyadari bagaimana peran media massa menyembunyikan realitas menyakitkan ini agar dunia tidak bergerak menyelamatkan bangsa Irak dari ladang pembantaian massal.

Inilah rahasianya kenapa pemerintah Irak menutup kantor perwakilan Aljazeera di sana setelah membuka kedok kejahatan-kejahatan terhadap hak Irak. Sejumlah wartawan juga dibunuh dari kantor berita lain. Para wartawan sangat takut bergerak mengambil gambar karena takut menjadi sasaran mafia dan milisi-milisi mereka. Dunia hanya mengira apa yang terjadi di Irak hanya sekedar ledakan-ledakan bom.

Padahal ledakan-ledakan itu hanya gambar paling ringan dari terorisme. Penculikan, penyiksaan, pemotongan organ tubuh, perkosaan pemudi, pembunuhan anak, orang tua renta dengan cara yang paling sadis yang pernah dikenal sejarah manusia tidak pernah kita saksikan yang berada di luar Irak. Sesungguhnya ini adalah langkah terencana untuk merampungkan proyek pembersihan dan pembunuhan massal. Tak penting memperdebatkan konspirasi ini. Yang penting adalah kita bergerak menghentikan akibat-akibat dari konspirasi terhadap bangsa Irak.

*Penulis adalah Kepala Kantor Perwakilan Stasiun Televisi al-Jazeera di Jakarta.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini